Hakikat Ibadah
Khutbah: HAI
اَلْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ نَحْمَدُهُ
وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوْبُ اِلَيْهِ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ
شُرُوْرِ اَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ اَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ
لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ
وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى ءَالِهِ
وَاَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اَمَّا بَعْدُ:
فَيَاعِبَادَ اللهِ
اُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَ اللهِ وَطَاعَتِهِ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِى الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ
وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku.” (QS. Adz
Dzariyat: 56)
Sidang
Jumat Rahimakumullah
Marilah
kita bersyukur kehadirat Allah SWT.yang telah menganugrahkan Iman dan Islam
kepada kita dan juga –yang telah memberi kesehatan dan kesempatan kepada kita,
hingga kita bisa hadir di Mesjid yang kita cintai ini dalam rangka melaksanakan
kewajiban; yaitu shalat Jumat berjamaah.
Shalawat
serta salam kita hadiahkan kepada Rasulullah SAW. yang telah meninggalkan 2
pedoman bagi kita ; yang jika kita berpedoman kepada ke-2 nya maka kita tidak
akan tersesat selamanya-yaitu Al Quran dan sunnah.
Dan
marilah kita senantiasa menigkatkan Taqwa kita kepada Allah SWT. Dengan
melaksanakan perintah-perintahNya dan menjauhkan diri dari apa-apa yang
dilarangnya.
Hadirin
Sidang Jumat Rahimakumullah.
Adapun
Judul Khutbah kita kali ini adalah: HAKIKAT
IBADAH
Secara
bahasa ibadah bermakna perendahan diri dan ketundukan
(Lihat Fath al-Majid Syarh Kitab at-Tauhid, Hal. 17, At-Tauhid
al-Muyassar, Hal. 53). Oleh sebab itu, orang Arab menyebut jalan yang biasa
dilalui orang dengan istilah thariq mu’abbad (Lihat Tafsir
Al-Qur’an al-‘Azhim [1:34])). Yaitu jalan yang telah dihinakan, karena
telah banyak diinjak-injak oleh telapak kaki manusia (Lihat Al-Irsyad
ila Shahih al-I’tiqad, Hal. 34). Sehingga, ibadah bisa diartikan dengan
perendahan diri, ketundukan dan kepatuhan (Lihat At-Tanbihat
al-Mukhtasharah Syarh al-Wajibat, Hal. 28).
Secara
terminologi, ada beberapa definisi yang diberikan oleh para ulama tentang makna
ibadah, yang pada hakikatnya semua definsi itu saling melengkapi. Di antaranya
mereka menjelaskan bahwa ibadah adalah ketaatan kepada Allah dengan
melaksanakan perintah-perintah-Nya yang disampaikan melalui lisan para rasul-Nya
(Lihat Fath al-Majid Syarh Kitab at-Tauhid, Hal. 17). Syaikh
As-Sa’di rahimahullah juga menerangkan bahwa ibadah itu
mencakup ketundukan dalam melaksanakan perintah Allah dan menjauhi
larangan-larangan-Nya, serta membenarkan berita yang dikabarkan-Nya (lihat Taisir
al-Karim ar-Rahman, Hal. 45)
Ibnu
Juraij rahimahullah mengatakan bahwa ibadah kepada Allah
artinya adalah mengenal Allah (LihatTafsir al-Qur’an al-‘Azhim [7:327]).
Yang dimaksud mengenal Allah di sini adalah mentauhidkan Allah. Sebagaimana
disebutkan dalam riwayat tentang perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada Mu’adz sebelum keberangkatannya ke Yaman. Beliau
bersabda,
فَلْيَكُنْ أَوَّلُ مَاتَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ شَهَادَةَ أَنْ لَاإِلٰهَ إِلَّا الله وَ فِي رِوَايَةٍ إِلى أَنْ يُوَحِّدُ اللهَ
“..
Hendaklah yang pertama kali kamu ajak kepada mereka adalah supaya mereka
beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla -dalam riwayat lain disebutkan untuk
mentauhidkan Allah-, kemudian apabila mereka sudah mengenal Allah…” (HR.
Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Nawawi [2:49] cet.
Dar
Ibnul Haitsam, lihat pula Shahih Bukhari cet. Maktabah
al-Iman, tahun 1423 H, Hal. 203 dan 1467. Lihat juga Fath al-Majid
Syarh Kitab at-Tauhid, Hal. 80 cet. Dar al-Hadis tahun 1423 H)
Jamaah
sidang Jumat yang dimuliakan Allah Ta’ala
Sebagian
ulama yang lain mengatakan bahwa ibadah adalah puncak perendahan diri yang
dibarengi dengan puncak kecintaan. Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Menurut
pengertian syariat ibadah itu adalah suatu ungkapan yang memadukan antara
kesempurnaan rasa cinta, ketundukan, dan rasa takut.” (Tafsir al-Qur’an
al-‘Azhim [1:34]). Syaikh Shalih al-Fauzan berkata, “Sebagian
ulama mendefinisikan ibadah sebagai kesempurnaan rasa cinta yang disertai
kesempurnaan sikap tunduk.” (lihat Al-Irsyad ila Shahih
al-I’tiqad, Hal. 34).
Syaikh
Shalih al-Fauzan menegaskan, “Ibadah yang diperintahkan itu harus
mengandung unsur perendahan diri dan kecintaan. Ibadah ini mengandung tiga
pilar; cinta, harap, dan takut. Ketiga unsur ini harus berpadu. Barangsiapa
yang hanya bergantung kepada salah satu unsur saja maka dia belum dianggap
beribadah kepada Allah dengan sebenarnya. Beribadah kepada Allah dengan modal
cinta saja, maka ini adalah metode kaum Sufi. Beribadah kepada-Nya dengan modal
rasa harap semata, maka ini adalah metode kaum Murji’ah. Adapun beribadah
kepada-Nya dengan modal rasa takut belaka, maka ini adalah jalannya kaum
Khawarij.” (Al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, Hal. 35)
Ibadah
juga diartikan dengan tauhid, sebagaimana disebutkan dalam riwayat yang
dibawakan oleh Imam Ibnu Katsir dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma mengenai
maksud firman Allah,
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ
“Wahai
umat manusia, beribadahlah kepada Rabb kalian.” (QS. Al-Baqarah: 21). Beliau
menjelaskan, “Artinya tauhidkanlah Rabb kalian…” (Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim [1:75])
Di
dalam kitabnya Al-‘Ubudiyah (Lihat Al-‘Ubudiyah, Hal.
6 cet. Maktabah al-Balagh, tahun 1425 H), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan
bahwa ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, berupa
perkataan atau perbuatan, yang tampak maupun yang tersembunyi (Lihat Mawa’izh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, karya Syaikh Shalih Ahmad asy-Syami, Hal. 54 cet.
al-Maktab al-Islami tahun 1423 H). Dari sini, maka ibadah itu mencakup perkara
hati/batin dan juga perkara lahiriyah. Sehingga seluruh ajaran agama itu telah
tercakup dalam istilah ibadah. (Lihat Al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad,
Hal. 34).
Syaikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menerangkan di
dalam Syarh Tsalatsat al-Ushul (Lihat Syarh Tsalatsat
al-Ushul, Hal. 23 cet. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah tahun 1424 H) bahwa
pengertian ibadah bisa dirangkum sebagai berikut; suatu bentuk perendahan diri kepada
Allah yang dilandasi dengan rasa cinta dan pengagungan dengan cara melaksanakan
perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya sebagaimana yang
dituntunkan dalam syariat-Nya.
Syaikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ibadah dibangun
di atas dua perkara; cinta dan pengagungan. Dengan rasa cinta maka seorang akan
berjuang menggapai keridhaan sesembahannya (Allah). Dengan pengagungan maka
seorang akan menjauhi dari terjerumus dalam kedurhakaan kepada-Nya. Karena kamu
mengagungkan-Nya maka kamu pun merasa takut kepada-Nya. Dan karena kamu
mencintai-Nya, maka kamu pun berharap dan mencari keridhaan-Nya.”(lihat Asy-Syarh
al-Mumti’ ‘ala Zaad al-Mustaqni’ [1:9] cet. Mu’assasah Aasam, tahun
1416 H).
Jamaah
Jumat yang dimuliakan Allah
Dari
pengertian-pengertian di atas paling tidak kita dapat menarik satu kesimpulan
penting bahwa sesungguhnyaibadah itu ditegakkan di atas rasa cinta
dan pengagungan. Rasa cinta akan melahirkan harapan dan tunduk kepada
perintah-Nya, sedangkan pengagungan akan menumbuhkan rasa takut dan mematuhi
larangan-larangan-Nya. Selain itu, kita juga bisa mengerti bahwa pelaksanaan
ibadah tidak bisa dilakukan secara sembarangan, namun harus mengikuti tuntunan
para rasul ‘alaihimush sholatu was salam. Dalam konteks sekarang,
maka kita semua harus mengikuti petunjuk dan ajaran Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam, nabi dan rasul yang terakhir.
Ibadah/amalan
akan menjadi benar dan diterima di sisi Allah jika memenuhi 2 syarat; ikhlas
dan ittiba’(Lihat Mazhahiru Dha’fil ‘Aqidah fi Hadzal ‘Ashr
wa Thuruqu ‘Ilajiha, oleh Syaikh Dr. Shalih al-Fauzan hafizhahullah,
Hal. 10 cet. Kunuz Isybiliya, tahun 1430 H. Sebagian ulama menambahkan syarat
ketiga yaitu aqidah yang benar, sebagaimana disampaikan oleh Syaikh Zaid bin
Hadi al-Madkhali dalam Abraz al-Fawa’id Syarh Arba’ al-Qawaid).
Ikhlas
artinya ibadah itu hanya diperuntukkan kepada Allah dan tidak dipersekutukan
dengan selain-Nya. Ini merupakan kandungan dari syahadat laa ilaaha
illallaah. Lawan dari ikhlas adalah syirik, riya’ dan sum’ah. Riya’ adalah
beribadah karena ingin dilihat orang, sedangkan sum’ah adalah
beribadah karena ingin didengar orang. Ittiba’ maksudnya adalah setia dengan
tuntunan/sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak
mereka-reka tata cara ibadah yang tidak ada tuntunannya. Ini merupakan
kandungan dari syahadat anna Muhammadar rasulullah. Lawan
dari ittiba’ adalah ibtida’ atau membuat
bid’ah (Silahkan baca al-Bid’ah, Dhawabithuha wa Atsaruha as-Sayyi’ fi
al-Ummah, oleh Syaikh Dr. Ali bin Muhammad Nashir al-Faqihi hafizhahullah,
cet. Jami’ah al-Islamiyah bil Madinah al-Munawwarah).
Allah Ta’ala berfirman,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa
yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabb-nya hendaklah dia melakukan amal salih
dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabb-nya dengan sesuatu
apapun.” (QS. al-Kahfi: 110).
Imam
Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan bahwa amal salih ialah
amalan yang sesuai dengan syariat Allah, sedangkan tidak mempersekutukan Allah
maksudnya adalah amalan yang diniatkan untuk mencari wajah Allah, inilah dua
rukun amal yang akan diterima di sisi-Nya (lihat Tafsir al-Qur’an
al-‘Azhim 5:154 Baca juga Al-Qawa’id wa al-Ushul aj-Jami’ah wa
al-Furuq wa at-Taqasim al-Badi’ah an-Nafi’ah karya Syaikh
as-Sa’di rahimahullah, Hal. 40-42 cet. Dar al-Wathan tahun 1422 H).
Sebagaimana
orang yang tidak ikhlas amalannya tidak diterima, demikian pula orang yang tidak
ittiba’ -alias berbuat bid’ah- maka amalannya pun tidak diterima. Apalagi orang
yang beribadah tanpa keikhlasan dan tanpa ittiba’ (Lihat Bahjat
al-Qulub al-Abrar wa Qurratu ‘Uyun al-Akhyar Syarh Jawami’ al-Akhbar karya
Syaikh As-Sa’di rahimahullah, Hal. 14 cet. Darul Kutub al-Ilmiyah,
tahun 1423 H). Oleh sebab itu, para ulama di antaranya Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah menafsirkan
bahwa yang dimaksud ahsanu ‘amalan (amal yang terbaik) dalam
surat Al-Mulk: ayat 2 sebagai amalan yang paling ikhlas dan paling benar
(Lihat al-‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, Hal. 93).
Ikhlas
jika dikerjakan karena Allah, sedangkan benar jika dikerjakan dengan mengikuti
sunnah/ajaran Nabi (Lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, karya Ibnu
Rajab al-Hanbali rahimahullah, Hal. 19 cet. Dar al-Hadis, tahun
1418 H). Bukan dengan cara-cara bid’ah. Bid’ah adalah tata cara beragama yang
diada-adakan dan menyaingi syariat, dimaksudkan dengannya untuk
berlebih-lebihan dalam ibadah kepada Allah Ta’ala (lihat al-Bid’ah,
Dhawabithuha wa Atsaruha as-Sayyi’ fi al-Ummah, Hal. 13). Hal ini
memberikan pelajaran berharga kepada kita bahwa syariat Islam ini mengatur niat
dan cara. Niat yang baik juga harus diwujudkan dengan cara dan sarana yang baik
pula (Lihat pula Ighatsat al-Lahfan min Masha’id asy-Syaithan,
karya Ibnul Qayyim rahimahullah, Hal. 16 cet. Dar Thaibah, tahun
1426 H). Islam tidak mengenal kaidah ala Yahudi; ‘tujuan menghalalkan segala
cara’.
Dengan demikian untuk beribadah dengan baik, seorang muslim harus memadukan
antara shihhatil irodah (ketulusan niat) dengan shihhatul
fahm (kelurusan pemahaman). Oleh sebab itu, Ibnul Qayyimrahimahullah menyatakan
bahwa kedua hal tadi -shihhatul irodah dan shihhatul fahm-
merupakan anugerah dan nikmat terbesar yang diberikan Allah kepada seorang
hamba. Ketulusan niat terwujud di dalam tauhid dan keikhlasan, sedangkan
kelurusan pemahaman terwujud dalam ittiba’ kepada sunnah. Sehingga amat wajar
jika para ulama sangat menekankan kedua pokok yang agung ini. Sampai-sampai
diriwayatkan bahwa Imam Ahmad rahimahullah pernah
berdoa, “Allahumma ahyinaa ‘alal islam, wa amitnaa ‘alas sunnah.” Artinya: “Ya
Allah, hidupkanlah kami di atas islam (tauhid), dan matikanlah kami di atas
Sunnah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar